Saudara/i terkasih dalam Tuhan,
Ketika berbicara Liturgi, maka tidak terlepas dari beberapa perbincangan, diantaranya: Allah sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur yang dikonsekrasi oleh imam, partisipasi umat beriman, dan peraturan-peraturan liturgi. Walau bagaimana pun, kehadiran Allah secara nyata dalam Liturgi(Perayaan Ekaristi) tidak bergantung dari persoalan partisipasi umat beriman, maupun tata aturan Liturgi; Allah hadir sebagai tindakan Ilahi dan Gereja. Bukan berarti persoalan partisipasi umat beriman dan peraturan Liturgi boleh diabaikan, tidak! Kedua hal itu juga sangat penting, tidak boleh diabaikan sama sekali.
Kehadiran Allah secara unik dan istimewa dalam Liturgi, Ia hadir dengan tubuh dan darahNya, jiwa dan keallahan. Kehadiran ini hanya diperoleh dari perayaan Ekaristi kudus (Liturgi). Memang Tuhan hadir dimana saja, namun kehadiran tersebut adalah kehadiran rohani. Oleh karena kehadiranNya yang begitu unik dan mengagumkan, sekaligus misteri, perlulah bagi para hadirin (umat beriman) mengambil bagian dalam Liturgi itu, yang pada hakikatnya merupakan perayaan umat (PUMR. 19). Tidak terlepas juga pedoman liturgi yang menyatukan, menyeragamkan sikap penyembahan kepada Allah, karena Liturgi bukanlah peribadatan pribadi, melainkan peribadatan publik yang didoakan atas nama Gereja dan mempersembahkannya kepada Allah. Meskipun perayaan itu di persembahkan oleh imam tanpa kehadiran umat beriman, sang Imam tidak dapat merayakannya ‘sesuka hati’; bagaimana pun juga seperti yang telah disampaikan sebelumnya, yakni adalah tindakan Gereja, juga karena liturgi adalah doa yang menyatu dengan doa para Kudus disurga (Persekutuan Para Kudus) dan kurban Misa didaerah lain, terlepas dari ruang dan waktu, karena Kristus wafat dan bangkit dalam ruang dan waktu demi keselamatan jiwa umat manusia tanpa terikat ruang dan waktu. Maka, sikap membuat peraturan gaya peribadatan sendiri dan memasukkannya dalam suatu Liturgi bukanlah cerminan mencintai Gereja yang berusaha menyatukan dan merangkul di antara perbedaan penghayatan.
Oleh karena kehadiran Allah dalam Liturgi, umat beriman di ajak berpartisipasi atau ambil bagian dalam perayaan itu. Partisipasi yang baik adalah mendengar, ikut bernyanyi, mengikuti sikap liturgi, menjawab salam sang pemimpin Liturgi, namun diantara itu yang paling fundamental adalah partisipasi batin, bagaimana mengelola hati yang dibantu oleh pedoman-pedoman Liturgi, meresapi semua doa-doa yang diucapkan sang imam. Partisipasi batin inilah yang membawa umat beriman menyadari terhadap pentingnya sikap dan tindakan liturgis yang menyatu dan membangun. Menyatu karena ia memposisikan dirinya sebagai bagian dari kumpulan umat beriman yang hadir menyembah dalam se-iya dan se-kata, menyadari doa-doa yang dihaturkan kepada Allah adalah bagian dari kebutuhan umat beriman; inilah bagian dari sikap membangun.
Dengan demikian, ketika kita hadir dalam Liturgi Kudus, Allah sunguh hadir dan melimpahi berkat dan rahmatNya. Sadar akan kehadiran Allah inilah yang membuat umat beriman sendiri perlunya partisipasi, dan dalam partisipasi ia tidak melakukannya sebagai tindakan pribadi, melainkan bersama umat beriman menyadari bahwa ini adalah perayaan bersama dan tindakan Gereja, maka partisipasi dan pedoman liturgi hendaknya menyatu dan berjalan dengan indah dan penuh seni.